Babi dan Corak Kekuasaaan Negara Sebagai Sumber Tragedi dalam Anime EIGHTY-SIX (86)

Babi dan Corak Kekuasaaan Negara Sebagai Sumber Tragedi dalam Anime EIGHTY-SIX (86)

Apa yang muncul pertama kali di pikiran apabila membahas mengenai babi? Mamalia yang lebih sering dikaitkan dengan persoalan moral ketimbang saintifiknya. Dalam persoalan moral, di beberapa kebudayaan babi diharamkan dan ada pula dimuliakan. Perkembangan budaya manusia juga beberapa kali memasukkan babi dalam kisah-kisah rakyat, seperti kisah 3 babi kecil. Budaya pop pun beberapa kali memunculkan dan memakai hewan ini menjadi sebuah istilah seperti yang terekam dalam anime Spirited Away dan anime 86 (Eighty-Six). Anime 86 (Eighty-Six) menggambarkan tragedi manusia yang dipaksa melawan Al. Eighty-Six merupakan sebutan untuk orang-orang kaum Colorata yang tinggal dalam Republik San Magnolia dan dibuang ke sektor terluar dari negara itu yaitu sektor 86. Mereka ditugaskan di barisan depan untuk memerangi robot Al yang bernama Legion.

Pemberlakuan undang-undang darurat militer oleh San Magnolia membuat hak-hak kaum Colorata tercerabut dan membuat mereka tidak lagi dipandang sebagai manusia. Dari sinilah muncul julukan “Babi” bagi para Eighty-Six Pemberlakuan undang-undang tersebut juga membuat penduduk San Magnolia yang didominasi oleh ras Alba ikut menangkapi kaum Colorata yang tinggal dalam San Magnolia dan menyerahkannya kepada pihak otoritas, termasuk tetangga, teman, bahkan ada juga keluarga.

Untuk mendapatkan pembenaran atas tindakannya terhadap Eighty- Six, San Magnolia menyebarkan propaganda dengan menyebut bahwa para Eighty-Six bukanlah manusia melainkan ‘Babi yang berwujud manusia. Karena status mereka menjadi Babi, mereka dikirimkan ke kamp militer untuk kerja paksa, diperbudak, dan dijadikan sebagai bahan eksperimen dalam pengembangan teknologi perang. Di sana mereka dilatih untuk dikirim ke medan perang melawan Legion. Para Eighty-Six karena status mereka adalah ‘Babi’, maka mereka tidak dianggap gugur dalam peperangan. Klaim San Magnolia ketika berperang melawan Legion adalah perang tanpa korban karena yang berperang adalah mesin perang “tanpa awak”, Juggernaut. “Nama”, hal paling esensial dimiliki oleh manusia, sengaja dihapuskan. Pada waktu peperangan berlangsung, Handler, semacam komandan strategi yang diisi oleh ras Alba, hanya mengetahui nama alias Eighty-Six. Penghapusan nama ini bertujuan untuk menghilangkan rasa bersalah atas kekejaman mereka terhadap Eighty-Six.

Baca Juga  Stigma Buruk Warga Konoha terhadap Jinchuriki: Beratnya Masa Kecil Uzumaki Naruto

Hasilnya, sebagian besar Handler mengganggap para Eighty-Six hanyalah pion catur, ketika perang berlangsung ada yang tidur, ada yang acuh, dan ada pula yang mengadakan taruhan mengenai unit siapa yang lebih duluan musnah. Pada akhirnya, kejahatan ini bertujuan untuk memusnahkan kaum Colorata atau Eighty-Six

Tragedi yang digambar dalam anime 86 (Eighty-Six) oleh sang penulis, Asato Asato, banyak mengambil latar Perang Dunia II. Abad ke-20 dikatakan sebagai abad paling kelam dalam sejarah kemanusiaan. Peristiwa-peristiwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di seluruh dunia dicatatkan dalam sejarah banyak menelan korban jiwa. Sebut saja tragedi Holocaust dan kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang terhadap Tiongkok dan Korea Selatan sepanjang PD II. Refleksi dari tragedi berdarah ini mendorong PBB untuk mengadakan rekonsiliasi dan pemulihan hak para korban PD II. Hasilnya, terbentuk Pengadilan Nuremberg yang mengadili petinggi dan panglima Third Reich atas kejahatan perang Holocaust dan Tokyo Trials yang mengadili para jendral Jepang yang terlibat dalam kejahatan perang.

Dalam skala yang lokal, beberapa masyarakat di dunia berinisiasi membuat monumen dan mengadakan rekonsiliasi tingkat lokal atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di daerahnya, seperti monumen Perang Vienam, pendirian Patung Jugun lanfu di Korsel untuk mengenang para korban perbudakan seks pada masa penjajahan Jepang, dan sebagainya.

Baca Juga  Mengkritik Kebebasan Eren Yaeger dari Sudut Kebebasan Monkey D. Luffy

Rekonsiliasi, permintaan maaf negara, dan pengadilan bagi pelaku kasus kejahatan perang dilakukan bukan tanpa argumen kabur. Upaya menyelesaikan kejahatan perang adalah upaya untuk memulihkan dan memberikan keadilan bagi harkat dan martabat para korban dan manusia. Selain itu, reparasi dan pemulihan hak para korban perang dan kejahatan kemanusiaan bertujuan untuk mencegah kekerasan- kekerasan yang berpotensi terjadi di masa mendatang. Kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan masa lampau pada abad ke-20 merupakan akar kekerasan yang digunakan oleh penguasa untuk melegitimasi tindakan kekerasan yang dilakukan.

Upaya kecil mengikis akar kekerasan ditampilkan oleh Lena, pemeran utama, yang menolak pem-Babi-an atas Eighty-Six. Dimulai dari Lena yang menanyakan nama asli Eighty-Six lalu mencatatnya dan mencoba untuk tidak melupakan mereka yang telah gugur dalam perang. Tindakan ini sejalan dengan filosofi pembangunan monumen dengan mencantumkan nama-nama korban karena dengan penamaan mengingatkan kepada masyarakat bahwa korban adalah manusia, nama adalah tanda seorang manusia, bukan Babi.

Gambaran kejahatan terhadap kemanusiaan yang diangkat dalam anime 86 (Eighty-Six) adalah pengantar singkat mengenai negara yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Penyangkalan terus menerus dilakukan oleh petinggi militer sebagaimana tampil dalam berbagai adegan 86 (Eighty-Six) dipakai sebagai dalil untuk mempertahankan kekuasaan atas nama negara. Namun, kejahatan terhadap kemanusiaan yang belum terselesaikan adalah bom waktu yang terus berjalan, seperti San Magnolia yang menunggu untuk dihancurkan oleh Legion. Dampak dari kejahatan terhadap kemanusiaan dalam dunia nyata sangat membekas di sepanjang hayat para penyintas. Kisah pilu mereka menjadi semestinya menjadi pelajaran penting dalam bernegara agar tragedi yang sama tidak terulang kembali. Namun, memasuki abad 21 masih ada beberapa negara yang enggan mengungkapkan kebenaran ataupun melakukan rekonsiliasi.

Baca Juga  Anarkisme Lintas Generasi Keluarga Monkey D. Luffy

Alih-alih melakukan reparasi, ada negara yang menjadikan tragedi kemanusiaan sebagai jualan politik setiap tahun. Narasi yang sama diulang-ulang: mencap para korban sebagai anggota parpol terlarang, meskipun korban bukanlah anggota partai manapun, sehingga tragedi yang menimpa mereka dianggap “wajar”; mengadakan nobar film sejarah yang kebenarannya meragukan; membuat isu pendirian (kembali) parpol terlarang yang sudah mati; serta bila ada lawan politik yang vocal maka langsung dicap sebagai anggota parpol terlarang tersebut dengan menambahkan frasa “.. gaya baru”.

Hasilnya, agenda rekonsiliasi dan reparasi tertunda oleh hiruk pikuk pemberian cap atau, meminjam istilah Eighty-Six, Mem-Babi-kan lawan-lawan politik. Sungguh brillian bukan? Sama seperti arti bendera 5 warna San Magnolia: kebebasan, kesamaan, persaudaraan, keadilan, dan kehormatan, negara itu juga memiliki 5 nilai falsafah hidup, akan tetapi pada bagian akhir bunyi nilainya terdapat catatan: “syarat dan ketentuan yang berlaku”.

Penulis: Kelvin Yanto