Tawuran antar kampung, bentrok suporter, ribut bapak-bapak (Ormas) gabut, ideal-kah disebut anarkis? Bila berbicara dari sudut pandang media dan bahasa yang disalahartikan, tentu, sederhana penalaran masyarakat akan memandang contoh-contoh di atas adalah sebuah tindakan anarkis. Sungguh disayang memang ketika filsafat politik setajam anarkisme kemudian oleh ‘kita’ hanya digunakan untuk menggambarkan jenis tindakan-tindakan kontra produktif yang dangkal maknanya dan jauh dari arti anarkis itu sendiri. Jika ‘bangkit dari kubur’ itu nyata, sepertinya Proudhon, Bakunin, Stirner, dan kawan-kawan lainnya yang menanam dan menumbuh-besarkan paham ini akan bangkit murka dari kubur mereka.
Kesalahpahaman ini tentu lahir bukan tanpa sebab, pelafalan anarkis untuk hal cetek seakan sudah biasa digaungkan media mainstream – TV, Koran, dan media bimbingan parpol lainnya. Padahal paham anti kekuasaan ini telah lama berdiri kokoh menjadi bahan komparasi kuat bahkan (saya rasa) unggul dibanding paham-paham populer seperti marxisme, liberalisme, dan sebagainya.
Peminat dan penyebar paham ini pun tentu kemudian dipersekusi, ditangkap, dan diasingkan dari peradaban. Anarko, istilah sederhana untuk orang-orang yang mengamini paham ini, mereka yang kemudian kita sering dengar diburu oleh aparat. Tentu pertanyaan besar muncul; kenapa?
Anarkisme tegas menyerang sesuatu yang krusial bagi sebuah negara, kerajaan, dan/atau organisasi, sebuah hal mendasar yaitu kekuasaan ‘mereka’ di atas manusia lain (rakyat) yang padahal mereka sendiri adalah manusia – seharusnya setara Anarkisme oleh orang yang mengamininya ditunjukan baik terang-terangan disuarakan menolak kekuasaan atau tindakan keras dalam bentuk perlawanan.
Anarkisme dan saya (penulis) sangat dekat, bahkan dulu dijadikan judul karya tulis untuk menuntaskan studi strata satu. Sedikit telat sadar memang bahwa ternyata dulu saya masih kurang luas membuka mata untuk mencari bahan kajian.
Dalam mata yang kini terbuka, ternyata ada bahan kaji sedekat nadi yang sangat menggambarkan anarkisme secara lugas dan menarik. Manga (dan anime) yang saya ikuti sedari usia sembilan tahunan, One Piece, spesifiknya pada tokoh yang menyandang nama “Monkey” yang terdiri dari tiga tokoh lintas generasi.
Monkey D. Garp, Monkey D. Dragon, dan Monkey D. Luffy.
Tiga orang tokoh yang dalam cerita memimpin alur meresahkan pemerintahan dunia. Selain karena menyandang nama “D” yang memang tersohor ditakuti penguasa, secara individu individu mereka masing-masing mendeskripsikan anarkisme dengan cara-cara fenomenal. Mari memulai dari Monkey D. Garp, sebut saja generasi tertua yang ada dalam runtun cerita keluarga ini. Ironinya dia adalah seorang militer yang tentu perpanjangan tangan dari kekuasaan Statusnya sebagai tokoh besar (bahkan disebut pahlawan) dalam angkatan laut menegaskan bahwa sebenarnya secara kedudukan dia berada di bawah naungan penguasa.
Lalu bagaimana mungkin orang dengan status sepertinya bisa didefinisikan sebagai orang yang mengamini anarkisme?
Tentu dengan tindakan, Garp acap kali menentang ‘atasan’, menolak tawaran kekuasaan, bahkan bekerja sama dan bersahabat dengan musuh terbesar penguasa yaitu sang Raja Bajak Laut. Semua itu dilakukannya tentu untuk menunjukan ketidaksukaannya pada rezim kejam yang berkuasa. Garp sendiri secara individu memiliki idealisme keumum-umuman yang menilai bahwa dia bisa memperbaiki sistem jika masuk ke dalam sistem itu sendiri. Itulah sebabnya Garp kini tetap menjadi tokoh militer namun selalu menunjukan nilai-nilai anarkis di tiap tindakannya.
Dalam garis turunan selanjutnya ada Monkey D. Dragon, anak Garp yang justru dalam langkah anarkis-nya mengambil jalan yang bersebrangan total dari ayahnya. Secara teori, Dragon dalam cerita menjalankan Anarkisme Sindikalis yang sangat masif.
Secara kolektif dia membangun sebuah pasukan anti pemerintahan dunia yang kemudian dikenal sebagai Pasukan Revolusioner. Secara laten pasukan yang didirikannya ini terang-terangan bertujuan untuk meruntuhkan kekuasaan itu sendiri. Secara spesifik kita dapat melihat praktik anarkisme dalam potongan-potongan cerita penggambaran Dragon dan pasukannya ini, meski hingga saat ini masih banyak misteri mengenai tokoh Dragon. Banyak naskah dalam One Piece juga terang-terangan menyebutkan Dragon adalah orang yang paling diburu/dicari/diburon oleh pemerintahan dunia.
Di garis keturunan termuda, sang tokoh utama dalam alur panjang One Piece, Monkey D. Luffy si Topi Jerami. Jalur karir yang diambilnya pun menolak oligarki dan jaminan nama besar kakeknya, Garp, di militer. Dia juga tidak mengekor masuk pasukan yang dibangun ayahnya, Dragon, di Pasukan Revolusioner. Tanpa disadari, pilihan karirnya sebagai bajak laut yang dicap pemerintah sebagai kriminal pun telah menunjukan ciri khas dari seorang anarko yang menolak keuntungan dari garis keturunan. Lebih dari itu, dalam perjalanannya Topi Jerami sering bertabrakan dan mengacaukan kekuasaan. Hampir di semua ‘Arc’ yang ada dalam cerita, Luffy selalu menghancurkan penguasa-penguasa jahat dan korup di pulau-pulau yang akhirnya dia selamatkan. Rezim Arlong, Crocodile, Enel, Moria, Doflamingo, dan lain sebagainya – hingga yang terbaru dan sedang dalam rangka penghancuran adalah kekuasan Kaido. Mereka semua adalah penguasa dan tokoh besar dunia yang dengan tekad kuatnya Luffy menghancurkan kekuasaan di atas manusia yang mereka tindas.
Banyak contoh yang bisa disajikan dari si tokoh utama ini dalam bentuk tindakan Anarkisme. Teramat sangat banyak. Semisal tindakannya menghajar salah satu anggota sebuah kelompok yang beroligarki di dalam pemerintahan dunia, Tenryuubito atau Kaum Naga Langit. Segelintir orang yang bahkan tidak ada yang berani menyentuh, namun, Luffy berani menghajarnya. Secara konseptual Luffy juga dalam kelompoknya mempraktikan anarkisme, meski di kapalnya dia bersatus sebagai kapten, dia tetap meyakinkan bahwa semua orang di sana setara. Dia tidak memposisikan dirinya lebih agung dibanding yang lain. Semua dapat berjalan sesuai tupoksi masing-masing. Kelompok Luffy ini adalah bentuk ideal dari anarkisme itu sendiri.
Alur cerita yang terkoneksi dalam skala besar menunjukan One Piece adalah penggambaran dunia yang sesungguhnya. Isu politik, ekonomi, budaya, media informasi, hingga hal-hal seperti kejahatan antar ras juga disajikan dalam visualisasi yang sangat menarik. Terkhusus muatan tentang anarkisme yang dikemas dalam berbagai aspek cerita dan penokohan yang sebenarnya bukan hanya ditunjukan oleh tiga tokoh di atas. Secara garis besar, konflik antar penguasa yang kejam dan rakyat yang menolak penindasan terus disajikan sebagai bahan peringatan dan evaluasi bahwa One Piece menyuarakan hal-hal yang sebenarnya terjadi di sekitar kita.
Penulis: Samsul R. Royani Pulungan
Samsul Royani merupakan lulusan sosiologi dari kampus yang katanya salah satu terbaik di penjuru negeri. Berprofesi sebagai penulis serabutan yang nyari makan dari bikin atau ngedit tulisan untuk media-media mainstream yang digenggam tokoh parpol. Gemar hidup dan belum ada niatan mati dalam waktu dekat. Dapat dihubungi lewat instagram @samroyani.