Saat menonton Naruto, pernah terpikirkan dalam benak saya saat melihat keteguhan sang karakter utama, “Kok bisa ya ada orang hidup dengan berbagai cobaannya bisa tetap kuat dan bersikap layaknya tidak ada apa-apa yang terjadi?” Mulai dari tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua karena tewas menjadi martir desa Konoha dalam insiden Kurama tepat di hari kelahirannya. Hidup mandiri sejak kecil dengan ekonomi terbatas karena warisan orang tuanya dilahap si Kakek. Eh? Hanya bisa makan ramen dan susu basi (untung gak usus buntu). Puncaknya, dijauhi seisi desa karena menjadi wadah monster yang memberikan rasa trauma kepada warga Konoha.
Masa kecil Naruto penuh dengan derita. Sesuatu yang sangat kontras bagi anak kecil yang lazimnya berbahagia layaknya anak-anak lain. Ajaibnya, anak ini bisa bertahan dan tidak depresi. Mungkin kalau kondisi yang mirip menimpa kita, apakah kita akan tetap tegar? Yang ada malah meracau, mengata-ngatai hidup kita gak guna, bertanya “Aduhh salah apa sih aku sampai dapat cobaan segininya?” Padahal salah kita beneran banyak. Kembali ke cerita.
Menyadari tak memiliki siapa-siapa, Naruto berdiri tegak memeluk semua penderitaannya dan tak membuatnya gelap hati untuk berbalas dendam. Realitanya, Naruto malah menantang dirinya bahwa dia bisa membuat semua orang mengakuinya, sekaligus menyatakan bahwa dia akan menjadi Hokage. Keteguhan Naruto ini mengingatkan kita ucapan Nietzsche, orang yang memiliki “mengapa” untuk hidup bisa menghadapi semua “bagaimana”. Inilah makna hidup. Sesuatu yang memunculkan kekuatan ekstra yang tak terduga.
Kekuatan ini sudah dibuktikan oleh Viktor Frankl tujuh dekade lalu saat dia dikurung di kamp Auschwitz. Dalam penderitaan terberat sekalipun, kita bisa menemukan makna. Itulah logoterapi. Logoterapi adalah sebuah aliran psikologi yang memusatkan perhatian pada makna hidup dan segala upaya untuk mencapainya. Aliran ini meyakini bahwa petualangan manusia untuk mencari makna adalah booster bagi kita semua dalam pengembaraan dunia ini. Bahkan Naruto pun melakukan prinsip logoterapi pada dirinya sendiri.
Menurut Frankl, kita itu dasarnya memiliki keinginan untuk mencari makna. Jajak pendapat publik di Perancis membuktikan bahwa 89 persen peserta mengakui bahwa mereka membutuhkan ‘sesuatu’ untuk hidup. Sesuatu inilah yang akhirnya membuat manusia keluar berpetualang. Namun saat keinginan mencari makna memuncak, petualangan dilakukan, maka akan timbul frustasi. Frankl menamakannya frustasi eksitensial. Kefrustasian Naruto mulai muncul saat Mizuki membeberkan rahasia bahwa Naruto adalah wadah monster yang membuat takut seisi desa. Rahasia itu membuat Naruto kecil tersentak saat memahami mengapa warga desa menjauhinya. Mungkin benaknya bertanya, untuk apa sih aku hidup? Sudah jadi tumbal wadah, lalu dijauhi pula?
Kita juga tahu bahwa dalam perjalanannya sembari mencari makna hidupnya, Naruto melalui berbagai peristiwa yang memberikan cakrawala baru baginya. Dari pengasingan oleh warga desa, pertarungan melawan Zabuza, misi menyelamatkan Gaara, dia memahami bahwa banyak orang yang mengalami penderitaan seperti dirinya.
Uniknya pencarian makna ini pasti menghantarkan kita pada ketegangan batin bukan keseimbangan. Ketegangan adalah hal yang tak terpisahkan dalam dunia kita. Frankl berpendapat bahwa ketegangan itu perlu bagi manusia. Menurutnya, keteganganlah yang membantu jiwa mencapai kesehatan mental, bukan keseimbangan dengan catatan hingga kadar tertentu. Layaknya seseorang yang ingin memperkuat ototnya, dia tidak mengurangi repetisi push up-nya, tetapi menambah repetisi tersebut. Cerita selanjutnya akan memperjelas teori ini.
Setelah melalui berbagai peristiwa, Naruto memandang bahwa kini dia tidak sekedar mencari pengakuan. Dia mulai menyadari bahwa derita yang dia jalani membuat dia tidak mau orang lain mengalami penderitaan seperti yang dia alami. Hingga kabar kematian gurunya, Jiraiya sedikit menggoyahkan pendiriannya.
Kematian Jiraiya mengandung perspektif menarik. Di satu sisi, Naruto ingin membawa perdamaian dengan memutus rantai kebencian. Rantai kebencian inilah yang selalu dia temukan dan menjadi sumber masalah dalam setiap kejahatan sehingga dia ingin memutusnya. Di sisi lain, ia juga tak bisa mengelak bahwa dirinya menyimpan dendam terhadap pembunuh gurunya. Klimaks ketegangan ini terjadi pada Naruto saat pertempuran dengan Pain. Makna hidup Naruto yang menginginkan perdamaian bagi dunia shinobi dibenturkan oleh pertanyaan simple Nagato, apakah perdamaian itu? Bagaimana kau memutus rantai kebencian yang ada? Sedangkan kau sendiri pun masih membawa dendam padaku karena aku membunuh gurumu dan menghancurkan desamu? Kondisi itu membuat Naruto seakan-akan wajahnya terhantam dinding keras.
Pertemuan Naruto dengan Minato menyadarkannya bahwa Minato dan Jiraiya percaya kepada dirinya karena dirinya pasti menemukan solusi untuk permasalahan siklus kebencian tersebut. Makna hidup Naruto menjadi lebih kokoh dan mantap setelah pertarungan melawan Pain.
Memutus rantai kebencian, membawa perdamaian, dengan saling memahami penderitaan satu sama lain. Naruto meyakini meyakini bahwa inilah alasannya hidup bertahan, berusaha mengubah situasinya dengan segala cara. Naruto sendiri berkata, “Bahkan aku pun tidak tahu apakah ada penderitaan yang lebih berat dari yang pernah aku alami ini.”. Sebuah spirit yang menjadikan seorang anak terbodoh di kelasnya menjadi pahlawan Desa Konoha sekaligus dunia shinobi.
Kini dalam realitanya banyak orang yang merasa hampa, hanya karena hidup yang dijalani tidak sesuai dengan ekspektasi. Setelah berekspektasi yang berlebihan, mereka mulai menyalahkan situasi. Hingga mereka mencapai tingkatan kehampaan dan perusakan diri sendiri.
Padahal sebagai makhluk yang berakal semestinya kita memaksimalkan setiap situasi yang kita hadapi bahkan hingga yang terburuk sekalipun. Barangkali dalam situasi itulah, kita justru menemukan unsur yang membuat hidup kita lebih bernilai. Justru sangat mungkin ketika kita memiliki kacamata sudut pandang yang berbeda, situasi penderitaan tersebut malah menjadi booster sekaligus makna hidup kita semua. Layaknya Kades kita, Uzumaki Naruto. Setiap nafas manusia itu memiliki makna, hanya saja kebanyakan dari kita masih tidak menyadarinya. Kacamata kita lebih suka melihat hal yang memuaskan nafsu kita sebagai tolak ukur kebermanfaatan momen dan hidup seseorang. Padahal barometer kebermanfaatan itu akan manusia temukan ketika dirinya memanusiakan dirinya sendiri.
Penulis: Gariza Ahmad Robbani
Adalah mahasiswa Konoha di Universitas Beika. Pendengar setia ceramah mingguan Kades KH Uzumaki Naruto, SH.MH. Penggemar Prof. Dr. Kudo Shinichi, Ph. D. meski kadang gak mudeng sama analisisnya. Bisa disapa lewat akun Instagram @officialahmadgar.