Wednesday , October 15 2025
Orang Jahat Lahir Dari Orang Baik yang Dibuat Menunggu

Orang Jahat Lahir Dari Orang Baik yang Dibuat Menunggu

Menunggu memang bisa sangat menjengkelkan. Itulah perasaan yang dirasakan oleh banyak orang ketika harus menunggu, terutama menunggu janji dari seseorang. Menunggu adalah aktivitas yang bisa memicu rasa kesal di dalam diri. Mengapa begitu? Karena kita sudah memiliki harapan bahwa sesuatu akan terjadi, namun justru harus ditahan untuk beberapa waktu. Mungkin jika hanya sebentar, masih bisa ditoleransi. Tetapi jika menunggu terlalu lama, itu akan terasa sia-sia.

Hal ini juga yang dirasakan oleh Sasori, yang dikenal sebagai Si Pasir Merah, ketika ia masih kecil. Pada saat itu, ia harus menunggu dengan penuh harap akan kepulangan kedua orang tuanya setelah perang dunia shinobi. Sejak saat itu, ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua seperti anak-anak seusianya.

Nenek Chiyo, yang sejak awal mengetahui bahwa kedua orang tua Sasori telah meninggal, memilih untuk tidak memberitahu cucunya tentang berita duka tersebut. Ia memiliki alasan sendiri bahwa Sasori belum siap untuk menerima kabar sedih tersebut di usia yang masih sangat muda.

Ketika seseorang sedang menunggu, seringkali kegiatan tersebut dianggap sebagai pemborosan waktu belaka. Hal ini disebabkan oleh fokus yang terlalu besar pada apa yang sedang ditunggu, sehingga tidak ada upaya untuk mengisi waktu dengan kegiatan lain. Akibatnya, kita menjadi terperangkap dalam perasaan hampa karena menunggu.

Nenek Chiyo mengambil pendekatan yang berbeda dalam mengisi waktu Sasori yang sedang menunggu kepulangan orang tuanya yang tidak lagi ada. Ia mengajarinya cara mengendalikan boneka, atau kugutsu, serta cara membuatnya. Melalui kegiatan ini, Nenek Chiyo berharap Sasori tidak terjebak dalam kegiatan menunggu yang sia-sia.

Baca Juga  Anarkisme Lintas Generasi Keluarga Monkey D. Luffy

Nenek Chiyo sangat terkesan dengan boneka pertama yang dibuat oleh Sasori, yaitu boneka yang menyerupai orang tuanya. Sasori mencoba menggerakkan kedua boneka tersebut dengan posisi memeluk dirinya. Setelah beberapa waktu berlalu, ia kembali merasakan pelukan dari orang tuanya meskipun hanya melalui boneka. Pelukan tersebut merupakan sesuatu yang sangat ia rindukan dan selalu ingin rasakan, sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak di lingkungannya.

Namun, pelukan dari boneka itu hanya bersifat sementara. Kedua boneka tersebut seketika roboh di depan Sasori. Kejadian ini mungkin mencerminkan kehilangan orang tuanya selama perang dunia shinobi. Tatapan Sasori menjadi datar dan kosong saat dia menyadari bahwa orang tuanya tidak akan pernah kembali. Menunggu membuat seseorang merasa tidak berdaya. Inilah yang dirasakan Sasori saat ini. Saat seseorang menunggu, mereka akan merasakan penderitaan yang teramat dalam.

Setelah mengalami penderitaan menunggu, kita pasti akan menjadi lebih berhati-hati dan berusaha menghindari situasi serupa di masa depan. Manusia secara naluriah akan menghindari segala hal yang menyebabkan penderitaan atau ketidaknyamanan. Ketidakpuasan karena menunggu dapat memperburuk keadaan.

Namun, menunggu memiliki konsekuensi yang merugikan. Menurut Backer (1965), menunggu berkaitan dengan penggunaan waktu. Waktu dianggap sebagai suatu hal berharga. Manusia umumnya berusaha untuk membuat keputusan yang tidak merugikan dirinya, termasuk dalam penggunaan waktu yang berharga ini (Lecler, Schmidtt, dan Dube: 1995).

Baca Juga  Mengkritik Kebebasan Eren Yaeger dari Sudut Kebebasan Monkey D. Luffy

Sasori, dalam serial anime Naruto Shippuden, membenci kata “menunggu” dan membuat orang lain menunggu. Dia mengungkapkan kebencian ini dengan kalimat ikonik, “Menunggu dan membuat orang lain menunggu adalah hal yang kubenci.” Sikap tidak puas Sasori terhadap menunggu sejalan dengan konsep biaya psikologis: pengorbanan atau pelepasan emosi yang dialami oleh konsumen atau orang yang mengalaminya.

Menunggu tanpa kepastian dapat menyebabkan rasa sakit dan memunculkan perubahan dalam diri individu. Hal ini terlihat dalam kasus Sasori saat ia dewasa. Sasori dianggap sebagai pahlawan karena keahliannya sebagai seniman pembuat boneka di Desa Suna.

Meskipun pekerjaannya cepat dan berkualitas, Sasori memiliki sikap yang dingin, cuek, dan hanya fokus pada pekerjaannya. Sebagai seorang seniman, ia cenderung melakukan eksperimen untuk menciptakan karya-karya baru dan berharga. Kadang-kadang, eksperimen yang ekstrim dan di luar batas dapat dilakukan oleh seniman dengan kreativitas tinggi dan kehausan akan hal-hal baru. Namun, obsesi yang melewati batas dan tindakan yang nekat dapat mengarah pada tindakan kejahatan.

Kejahatan bisa muncul dari berbagai kesempatan, dan Sasori memanfaatkan kesempatan dalam berkarya untuk memulai tindakan kejahatannya. Dengan mengikuti prinsip seni seperti yang diungkapkan oleh Plato Rousseau, bahwa “seni adalah hasil peniruan alam dengan segala isinya,” Sasori mulai melakukan eksperimen dengan boneka-boneka gila untuk pesanan dari Nenek Chiyo. Karena ia tidak suka membuat orang lain menunggu, Komushi, yang bertindak sebagai penghubung antara Sasori dan Nenek Chiyo, menjadi korban pertama. Ia telah jebakan dengan tangan tiruan yang mengandung racun, dan akhirnya berubah menjadi boneka pertama yang terbuat dari manusia.

Baca Juga  Analisis Karakter Tohru Honda dari Fruit Basket: Ketika Penerimaan Diri Menjadi Sebuah Kekuatan

Sasori, yang terkenal dengan catatan kriminalnya, tidak hanya berperan dalam menculik dan membunuh Kazekage ketiga, tetapi juga menjadikannya sebagai salah satu boneka manusia favoritnya di antara ribuan koleksi boneka lainnya. Tindakan ini semakin memperburuk reputasi Sasori sebagai seorang ninja kriminal berperingkat S, yang akhirnya membawanya bergabung dengan Akatsuki. Kejadian ini mengungkapkan sebuah realitas yang mengerikan dan mengejutkan, membuat Sasori merasakan dampak dari kesalahannya.

Andai saja saat itu Nenek Chiyo tidak mempertimbangkan usia Sasori dan memberitahunya dengan jujur tentang kematian orangtuanya, mungkin segalanya bisa berjalan dengan berbeda. Ketika berbicara mengenai berita yang menyakitkan, kejujuran adalah hal yang penting. Sasori pasti akan merasakan sedih dan patah hati saat menerima kabar tersebut, namun perasaan tersebut hanya sementara. Dalam batinnya, mungkin Sasori telah mencapai tingkat ketulusan dan keikhlasan dalam merelakan kepergian orangtuanya.

Penulis: M.Arif S

Panggil Saja Arif, Saya Adalah Seorang Anak Kampung yang Doyan Jalan-jalan hobinya ngopi sambil ngobrolin hal yang tidak penting sama sekali, Saya selalu memotifasi diri saya sendiri dengan quotes “Tidak Apa Tidak Menjadi Apa-Apa Selama Ketidak Apa-apaanmu tak membuatmu berhenti berusaha dan bersyukur”. Untuk melihat lebih banyak tulisannya, kunjungi bio Instagram @mhd_arif96