Dua tahun belakangan ini, Jujutsu Kaisen menjadi salah satu judul populer di kalangan para penyuka anime dan manga Jepang. Selain karena plot segar dan gaya yang berbeda dari serial bergenre shounen lainnya, Jujutsu Kaisen juga mendapat banyak pujian karena penggambarannya terhadap masyarakat modern bersama dengan segenap isunya melalui para karakter yang ada di dalamnya. Isu seputar pemberdayaan perempuan dan feminisme juga menjadi hal yang diangkat dalam serial yang satu ini.
Dalam Jujutsu Kaisen, Gege Akutami tidak menghadirkan karakter perempuan hanya sebagai pelengkap dan pendukung tokoh laki-laki. Dengan kekuatan dan karakteristik yang unik dan masing-masing dari mereka miliki, para karakter perempuan dalam Jujutsu Kaisen digambarkan sebagai sosok-sosok tangguh yang selalu berjuang untuk diri mereka sendiri tanpa campur tangan siapapun.
Mereka juga diberikan ruang untuk menceritakan kisah serta perjuangan mereka dalam menghadapi sebuah realita yang menyakitkan dan sayangnya masih ada untuk dihadapi perempuan di mana pun-pemberlakuan nilai-nilai patriarki yang masih ada dalam masyarakat, seperti standar ganda, ekspektasi sosial terhadap bagaimana seharusnya seorang perempuan bersikap, dan sebagainya. Namun, tidak hanya itu yang dipaparkan oleh Akutami dalam cerita ini. Ia juga memberikan suara bagi segenap karakter perempuan Jujutsu Kaisen untuk menyatakan apa yang masing-masing dari mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan terhadap hal-hal tersebut.
Salah satu contohnya adalah Maki Zenin, seorang karakter perempuan perempuan dalam dalam Jujutsu Kaisen Kaisen yang mengalami seksisme saat tumbuh dalam sebuah klan yang masing memegang erat nilai-nilai patriarki dan tidak membiarkan satu orang wanita pun untuk mengembangkan potensinya dan hanya menjadikan mereka pendukung bagi para anggota laki-laki
Maki juga menjadi satu-satunya perempuan yang menentang keras sistem patriarki dari klan Zenin dengan memiliki mimpi sebagai ketua klan dan terus berlatih untuk mengembangkan kemampuannya. Meski memiliki talenta dan kekuatan fisik yang luar biasa untuk dipromosikan ke tingkat sorcerer Jujutsu yang lebih tinggi, Maki tidak mendapatkan kesempatan itu. Hal ini disebabkan oleh klan Zenin sendiri yang mempersulit Maki untuk mengembangkan bakatnya dan menghalangi promosinya.
Melihat bahwa kemampuannya belum cukup untuk membuatnya diakui, Maki pun keluar dari klan Zenin dan terus mengasah talentanya di tempat lain, yaitu Akademi Jujutsu di Tokyo.
Beberapa karakter perempuan lainnya di Jujutsu Kaisen juga memiliki permasalahan serupa. Ada juga Momo Nishimiya, siswi dari Akademi Jujutsu di Kyoto, yang menyuarakan kebingungan dan juga rasa frustrasinya terhadap standar ganda yang ada dalam komunitas Jujutsu dan menjadi sekat antara sorcerer laki-laki dan perempuan ketika sedang bertarung melawan salah seorang karakter utama utama Jujutsu Kaisen, Nobara Kugisaki. Ada dua hal dalam standar ganda yang diungkapkan oleh Nishimiya dalam pertarungan itu. Pertama, dari segi penampilan fisik. Nishimiya menjelaskan, “Luka di wajah bagaikan medali bagi para laki-laki, tapi jika ada dalam seorang wajah perempuan, itu akan dianggap sebagai sebuah kekurangan.”
Masih dari segi yang sama, Nishimiya juga berkata bahwa meskipun seorang sorcerer perempuan memiliki talenta dan kekuatan yang mumpuni, jika tidak terlihat cantik, hanya akan dipandang sebelah mata. “Dan kalau mereka terlihat cantik, mereka akan dipandang rendah jika tidak memiliki bakat yang cukup,” katanya.
Kedua, dari segi “kesempurnaan” yang harus dimiliki perempuan. Agar dapat dipandang setara dengan para sorcerer laki-laki, sorcerer perempuan harus bekerja lebih keras. “Hal yang dituntut dari seorang sorcerer perempuan bukanlah kekuatan, melainkan ‘kesempurnaan,” jelasnya waktu itu. Namun, alih-alih mengiyakan perkataan Nishimiya, Nobara tidak mau dan tidak akan setuju dengan semua itu. Nobara berpendapat bahwa dalam kamusnya, kesempurnaan tidaklah penting. Jawaban gadis itu terhadap semua hal yang dilontarkan Nishimiya adalah kepercayaan diri dan rasa cinta pada diri sendiri-ia menyatakan ia suka dengan dirinya yang berpenampilan menarik dan tetap menjadi perempuan yang kuat.
Tanpa sadar, Nobara membuka sebuah alternatif baru bagi para perempuan, yaitu berani menjadi diri sendiri di tengah-tengah masyarakat yang selalu memiliki ide tersendiri tentang bagaimana seorang perempuan seharusnya bersikap. Ini merupakan sikap perlawanan yang ia tunjukkan secara tidak langsung terhadap standar yang ditetapkan masyarakat kepada para perempuan.
Melalui kisah Maki dan apa yang diucapkan oleh Nishimiya kepada Nobara, Akutami menjelaskan isu yang masih menjadi sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh perempuan di dunia modern saat ini dengan baik dengan lugas. Dalam masyarakat kita, kerap kali perempuan dituntut untuk selalu menjadi sempurna, menyesuaikan diri dengan standar yang ada, dan menjaga pemikiran dan tingkah laku mereka untuk selalu tunduk pada nilai-nilai tersebut. Kadangkala ada juga yang menganggap bahwa perempuan hanyalah warga kelas dua yang tidak perlu berambisi tinggi dan sebaiknya berfokus mengurusi urusan domestik rumah tangga, hanya karena citra itulah yang selalu ditanamkan sejak dahulu kala.
Padahal, sejatinya, perempuan juga memiliki pemikiran dan perasaan sendiri. Setiap perempuan berhak untuk memiliki cita-cita dan mewujudkannya. Mereka juga bisa berpikir, bertindak, menyuarakan pendapat, dan mengambil keputusan sendiri tanpa harus dikekang oleh pihak manapun.
Sikap perlawanan terhadap sistem patriarki yang masing-masing ditunjukkan oleh Maki dan Nobara menjadi tanda bahwa setiap perempuan memiliki cara tersendiri untuk lepas dari konstruksi sosial yang menetapkan standar tertentu kepada perempuan. Dengan menjadi diri sendiri dan tidak ragu untuk mulai berani berkarya, setiap perempuan dapat menjadi perempuan yang berdaya.
Penulis: Nadia Theresa J
Cewek biasa yang suka menonton anime, membaca manga, menonton film, dan jalan-jalan. Sangat suka karya- karya sastra Jepang. Resensi-resensi bukunya dapat dilihat di instagram dan twitter @emonymphreads.