Dr. Stone dan Kode Etik ilmuwan dan akademisi pada masa kini

Dr. Stone dan Kode Etik ilmuwan dan akademisi pada masa kini

Pasar selalu berkembang, begitu pula komoditas. Tidak hanya sebatas definisi komoditas mempunyai nilai ekonomis, perlahan hal-hal yang tidak pernah menjadi komoditas dagangan mulai diberikan nilai ekonomis dan bahkan politis: gelar akademis. Apa itu gelar akademis? Singkatnya, gelar akademis diberikan oleh perguruan tinggi kepada seseorang yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan berjasa besar dalam bidang kemanusiaan. Gelar akademis ini lazimnya disebut juga dengan Gelar Doktor Kehormatan atau Honoris Causa (HC).

Setiap orang dapat diberikan gelar ini. Untuk mendapatkan gelar ini bukanlah hal yang mudah karena seseorang harus melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Hanya orang-orang yang mendedikasikan dirinya sebagai ilmuwan dan memiliki pemikiran ‘ilmu untuk rakyat’-lah yang pantas mendapatkan gelar HC.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Saat ini gelar HC dimaknai sebagai komoditas politik. Gelar yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada politikus sebatas untuk menaikkan daya tawar politik dan demi kepentingan politik praktis. Tanpa kepekaan sosial, bahkan mantan koruptor sekalipun bisa diberi gelar HC dengan entengnya. Salah seorang ilmuwan pernah berkata demikian: “Debat akademis ndak pernah, nulis ndak pernah, pringas-pringis ujug-ujug doktor”. Tidak pernah mempublikasikan karya ilmiah, menulis jurnal internasional, bahkan hal yang paling mendasar seorang ilmuwan, yaitu melakukan penelitian, hanya menyuruh orang lain (ghost writer) atau menjiplak (plagiat) karya orang, tetap diberi gelar HC.

Maraknya pemberian gelar akademis ini tentu mencederai marwah akademik dan marwah perguruan tinggi yang berperan sebagai mercusuar keilmuan di tengah-tengah masyarakat. Perguruan tinggi yang memberikan gelar kepada para politikus dan koruptor idealnya wajib sadar akan krisis akademis yang terjadi ini.

Kita semua tahu perguruan tinggi berisi para ilmuwan yang mana masyarakat menggantungkan harapannya demi menciptakan masa depan yang baik bisa kehilangan wibawa: Apakah perlu suatu hal yang bisa memantik sense of crisis para ilmuwan pada perguruan tinggi ini? Mungkin bisa dimulai dari tontonan ringan anime: Dr. Stone. Sekilas terdengar konyol karena belajar dari film kartun masih terbilang ‘tabu, apalagi jenis kartunnya adalah anime bisa dicap wibu. Namun, anime Dr. Stone banyak menceritakan tentang seluk beluk kehidupan ilmuwan.

Baca Juga  Analisis Politik Dinasti Dalam Kontestasi Pemilihan Hokage di Konoha

Mengambil latar dunia yang hancur dan kembali pada zaman batu, para penonton selalu dibuat kagum dengan berbagai penemuan (invention) dalam bidang saintek sekaligus menambah wawasan pengetahuan umum. Hampir semua cabang ilmu saintek dipraktikkan dalam Dr. Stone, mulai dari ilmu fisika, ilmu biologi, hingga ilmu kimia.

Menonton Dr. Stone bisa dikatakan seperti menonton film belajar IPA dasar untuk anak-anak SD, hanya saja dikemas secara lebih kompleks karena kebanyakan penontonnya adalah orang-orang remaja. Bahkan lebih jauh lagi, banyak konten kreator hingga ilmuwan asli berlomba-lomba membuat video di Youtube untuk membuktikan kebenaran percobaan dan teori saintek dalam Dr. Stone. Sebagian besar para reviewer ini mengatakan eksperiman sains dalam Dr. Stone benar. Invensi dan eksperimen yang dilakukan Senku dalam Dr. Stone berhasil mengundang antusiasme para penonton untuk mencoba melakukan eksperimen yang sama, terutama membuat cola dari madu dan jeruk nipis dan membuat mie ramen berbahan dasar tanaman foxtail.

Eksperimen yang dilakukan dalam Dr. Stone secara tidak langsung membuktikan bahwa menjadi seorang ilmuwan itu sangat menarik. Namun, lebih dari itu, di samping kejeniusan dan kehebatan yang ditunjukkan oleh Senku, terdapat suatu hal yang lebih dari sekedar melakukan eksperimen.

Baca Juga  Admiral Fujitora dan Cita-Cita Reformasi Angkatan Laut Melalui Paradigma Hukum Progresif

Hal itu adalah bagaimana laku dan etika seorang ilmuwan yang mana Senku mendedikasikan seluruh hidupnya untuk sains. Jalan hidup (way of life) Senku dalam Dr. Stone adalah seorang ilmuwan yang martir, hidupnya dipersembahkan seluruhnya untuk sains. Hal ini tercermin dari sikapnya yang tetap memegang teguh kode etik seorang ilmuwan di tengah konflik yang terjadi. Contoh paling tepat berada pada scene ketika Senku tetap teguh pada pendiriannya yang akan menggunakan sains untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, tanpa terkecuali, dari pembatuan meski ia berada di bawah ancaman mati di tangan Tsukasa.

Peristiwa ini mirip dengan kisah hidup filsuf Socrates, di mana hingga pada akhir hayatnya Socrates lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun daripada harus berhenti untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada pemuda di Athena, dan sang ilmuwan Galileo Galilei yang akhirnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh gereja karena mempertahankan teori heliosentrisme Copernicus.

Selain menjadi martir, terdapat salah satu kode etik ilmuwan yang juga dipegang teguh oleh Senku: kejujuran. Mengapa kejujuran sangat penting bagi ilmuwan? Jawabannya adalah karena seorang ilmuwan wajib bertanggungjawab atas invensi atau ilmu yang ia punya. Terutama seorang ilmuwan harus jujur atas riset, invensi, dan teori yang ia ciptakan. Sikap jujur atas hal-hal tersebut nantinya akan dipertanggungjawabkan dalam bentuk memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan atau masyarakat. Sikap jujur ini diperlihatkan oleh Senku hampir dalam setiap episode Dr. Stone. Yang paling momental adalah ketika Senku berkata jujur kepada Nikki bahwa dia tidak dapat menghidupkan kembali seluruh lagu-lagu Lilian karena seluruh rekamannya telah hancur dimakan zaman.

Baca Juga  Logoterapi dan pencarian makna hidup dari karakter Uzumaki Naruto

Sikap jujur dan integritas yang ditunjukkan oleh karakter 2D bernama Senku dalam anime Dr. Stone telah menunjukkan kualitas seorang ilmuwan bahwa betapa sulitnya menjadi ilmuwan. Sejarah pun banyak merekam bagaimana nasib ilmuwan yang mempertahankan ilmunya berakhir tragis.

Dengan belajar dari sejarah, seorang ilmuwan disematkan gelar HC untuk menghormati jasa-jasanya. Dari sinilah diketahui bahwa gelar kehormatan atau HC adalah sebuah gelar yang sakral. Pemberian gelar HC tidak jarang menimbulkan perdebatan yang sengit. Jacques Derrida filsuf Prancis ditentang oleh para akademisi dari berbagai universitas atas pemberian gelar honoris causa oleh Universitas Cambridge karena para akademisi tersebut menentang ajaran dekonstruksi Derrida.

Universitas Oxford yang menolak memberikan gelar honoris causa kepada Margaret Thatcher mantan Perdana Menteri Inggris karena ia memangkas pendanaan dalam bidang pendidikan, hingga aktor Bill Cosby yang ditarik seluruh gelar honoris causa-nya dari berbagai universitas karena terbukti melakukan kekerasan seksual adalah contoh betapa gelar penghargaan ini bukanlah sebutan yang sepele.

Ironisnya, ketika suatu universitas secara ‘ngasal’ memberikan gelar kehormatan kepada politikus hingga koruptor, maka mutu akademis dan kualitas para ilmuwannya patut dipertanyakan. Patut mereka diberi saran agar bisa menonton Dr. Stone supaya dikembalikan ingatan tentang peran dan tanggung jawab mereka sebagai ilmuwan dan akademisi. Apakah perlu suatu institusi pendidikan memberikan gelar honoris causa kepada Senku Ishigami atas jasa-jasanya dalam melepaskan pembatuan manusia dan telah menambah pengetahuan sains para penontonnya?

Kapankah itu terjadi? Entahlah. Mungkin akan tiba saatnya ketika gelar honoris causa lebih layak diberikan kepada karakter 2 dimensi.

Penulis: Kelvin Yanto

Hanya seseorang yang suka melakukan senam otak. Hiburan pun sering dipikir serius.