Issho atau yang lebih dikenal dengan nama Fujitora adalah Admiral bermata buta yang dikenal sebagai sosok idealis, berintegritas dan punya cita-cita utopis untuk mereformasi sistem dalam insitusi Angkatan Laut yang dianggap telah rusak dan tercemar secara struktural. Angkatan Laut sebagai institusi hukum yang mestinya mengayomi masyarakat dalam dunia One Piece, kerap kali melakukan praktik-praktik yang bersifat “end justifies the means” dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan bahkan terkadang cenderung tidak manusiawi.
Salah satu perbuatan tidak manusiawi Angkatan Laut yang sangat membekas dalam rongga ingatan kita adalah bagaimana mereka melakukan genosida terhadap kaum ilmuwan dan para penafsir ayat-ayat Poneglyph di Pulau Ohara. Hal itu dilakukan Angkatan Laut menganggap yang dilakukan para penafsir ayat dari Ohara dapat mengganggu ketertiban dan keamanan dunia.
Hal ini disebabkan karena aparat Angkatan Laut, baik mereka yang berpangkat tinggi maupun rendah, terlalu berpegang teguh bahkan terkesan fanatik terhadap prosedur penegakan hukum yang sifatnya legalistik formal sehingga hanya mengedepankan kepastian hukum dan melupakan bahwa yang paling filosofis dan substantif dalam penegakan hukum ialah keadilan. Berdasarkan realita kebekuan hukum yang terjadi dalam tubuh Angkatan Laut, sebagai perwira yang sekaligus berjiwa intelektual, Fujitora pun terketuk hati dan pikirannya sehingga akhirnya memiliki visi dan pengelihatan jauh ke depan untuk mereformasi Angkatan Laut sebagai Institusi yang awalnya kaku dan baku dalam menegakkan hukum, menjadi lebih kontekstual dan juga dapat menghasilkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum dalam dunia One Piece.
Sangat ironis karena pengelihatan akan masa depan yang begitu terang benderang dan visioner justru datang dari mata yang buta.
Meski kedua mata di wajah Fujitora tidak berfungsi namun mata intelektualnya tetap mampu merefleksikan cahaya keadilan yang dapat menerangi bayangan gelap nan pekat yang mencengkram tubuh Angkatan Laut. Namun, seluruh gagasan dan cita-cita Fujitora itu masih sekadar angan dan ambisi belaka, kita belum tahu metode dan kerangka apa yang disiapkan Fujitora untuk mereformasi sistem yang terdapat dalam institusi Angkatan Laut ke depannya. Penulis meyakini bahwa Fujitora dapat menjadikan paham Hukum Progresif sebagai referensi kerangka berpikir dalam merancang reformasi pada Angkatan Laut.
Hukum Progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo pertama kali melalui artikelnya yang dimuat harian Kompas 15 Juni 2002 dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”. Berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Dianalogikan dengan Amoeba, karakternya lentur, progresif tetapi tetap memiliki prinsip dasar.
Sistem inilah yang dalam ilmu pengetahuan modern disebut oleh Niklas Luhmann sebagai sistem Autopoietic. Tidak ada yang abadi kecuali ketidakabadian itu sendiri. Tidak ada harga mati kecuali kematian itu sendiri. Dengan demikian hidup itu mesti progresif, bukan pasif apalagi regresif. Hukum progresif dapat dikonstruksikan sebagai hukum yang selalu berkembang dan merupakan gerakan pembebasan karena bersifat cair serta melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Hukum progresif menempatkan pemahaman hukum bukan hanya sebatas peraturan perundang-undangan tertulis semata, namun harus terbebas dari aturan normatif.
Para penegak hukum seperti aparat Angkatan Laut di dunia One Piece diharapkan menggali hukum secara substantif dan tidak terkekang atas aturan prosedural. Hal ini ditujukan untuk mencapai keseimbangan antara kepastian, kebermanfaatan dan keadilan.
Berdasarkan uraian singkat di atas, sikap Fujitora sebagai aparat hukum secara individu telah merepresentasikan makna Hukum Progresif. Salah satu yang paling terkenang adalah bagaimana Fujitora memilih untuk membiarkan Aliansi Straw Hat Pirates meloloskan diri dari Dressrossa. Padahal Straw Hat Pirates sendiri merupakan kriminal paling sering berbuat onar dan membuat World Government gundah gulana. Alasan Fujitora melakukan hal yang menimbulkan cercaan dan kontroversi dalam internal Angkatan Laut itu, karena ia paham dan menyaksikan langsung bagaimana Luffy dkk membantu rakyat pulau Dressrossa untuk lepas dari borgol kolonialisme yang dilakukan Doflamingo.
Fujitora paham bahwa meskipun dia terikat aturan hukum dan kode etik Angkatan Laut, namun tetap saja ia harus mengedepankan kemanusiaan dibanding hukum itu sendiri. Perbuatan yang merepresentasikan karakteristik Hukum Progresif yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum.
Seolah tak puas dengan hanya berbuat demikian, Fujitora juga tidak menutupi perbuatan mulia nan heroik Straw Hat Pirates di Dressrossa dari teropong media massa. Padahal umumnya Angkatan Laut akan menyembunyikan fakta seperti itu dari media massa bahkan seringkali memerintahkan media massa membuat narasi demagogis dengan memutarbalikkan kenyataan. Fujitora berhasil menghasilkan keadilan substantif yang terbebas dari kekakuan teks-teks hukum normatif. la mampu menafsirkan hukum secara progresif karena hati nurani dan akal budinya mendahului aturan-aturan legalistik formal dalam prosedur penegakan Hukum yang disematkan Angkatan Laut padanya.
Sekarang problematika yang timbul adalah bagaimana Fujitora mampu untuk melakukan reboisasi paham Hukum Progresif terhadap lahan pikiran aparat Angkatan Laut agar menumbuhkan pohon keadilan. substantif yang kokoh, rindang dan teduh. Fujitora perlu menebang habis aparat-aparat bermasalah yang masih kolot.
Admiral seperti Akainu tidak pantas menjabat posisi apapun dalam Angkatan Laut masa depan yang didambakan Fujitora karena sifat kolot, membabi buta, dan fanatisme butanya terhadap keadilan absolut. Maka dari itu ia harus segera diamputasi agat tidak menularkan sifat buruknya yang sudah kronis itu kepada bibit-bibit aparat angkatan laut masa depan. Begitu banyak rintangan yang membentang Fujitora dalam mendaki tangga idealismenya dalam mewujudkan reformasi Angkatan Laut, apalagi dunia One Piece sedang dilanda berbagai kekacauan dan memasuki perang besar-besaran.
Namun Penulis yakin bahwa Fujitora sebagai Admiral yang berintegritas dan paham makna Hukum Progresif pasti dapat mewujudkan perubahan yang telah dinanti oleh masyarakat One Piece.
Sebagaimana adagium hukum yang berbunyi Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur. Yang berarti; Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. Kelak di bawah Admiral Fujitora hukum akan tersadar kembali dari tidur lamanya dan melalui Angkatan Laut yang progresif mampu mengayomi keberagaman dalam Dunia One Piece. Selamat Berjuang, Admiral Fujitora!
Penulis: Dimas Rajayaksa
Seorang yang menjadikan anime dan film sebagai wadah diskursus akademis. Akademisi Hukum lintas anime dan sekarang lagi fokus menjabat sebagai Tenaga Ahli di Revolutionary Army dunia One Piece. Selain Hukum, juga gemar menggiati Filsafat. Salah satu filsuf favorit saya adalah Friedrich Nietzsche.