Stigma mengenai ilmu Soshum mungkin sudah tidak asing lagi didengar oleh banyak masyarakat di Indonesia. Stigma tersebut juga sering dijumpai khususnya oleh generasi lama seperti kakek, nenek, paman, bibi, bahkan orang tua kita sendiri. Tidak heran, mereka cenderung ikut andil dalam memberikan saran atau bahkan menuntut, agar memilih jurusan non Soshum (Saintek) saat cucu, ponakan, atau anak mereka ingin melanjutkan pendidikan di jenjang menengah ke atas atau mungkin pendidikan tinggi nanti. melanjutkan
Mereka juga memiliki stigma jika pendidikan di jurusan non Soshum (Saintek) adalah sesuatu yang tidak menarik, kurang superior, dan memiliki masa depan yang absurd. Ironisnya, mereka juga terkadang mengatakan jika ilmu sosial humaniora adalah ilmu yang hanya kebanyakan teori, abstrak, dan cenderung tidak mutlak.
Padahal kenyataannya, baik ilmu Soshum maupun Saintek keduanya merupakan disiplin ilmiah yang berakar dari filsafat. Keduanya pun sama-sama memiliki metode ilmiah yang tentu saja mencakup kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, baik Saintek maupun Soshum keduanya tentu saja memiliki tingkat kesulitan dan kompleksitas yang sama. Kompleksitas dan kesulitan ilmu Soshum mungkin terlihat pada seringnya falsifikasi terhadap teori yang berlaku. Kemudian, banyaknya percabangan yang dihasilkan dari ilmu Soshum sehingga menimbulkan ragam perspektif dan teori juga menambah kesan kesulitan dan kompleksitas dari ilmu Soshum itu sendiri. Selain itu, kehidupan dan pemikiran manusia yang cenderung dinamis juga semakin menambah kesan sulit dan kompleksnya ilmu Soshum itu sendiri.
Oleh karena itu, keberadaan stigma terhadap ilmu Soshum yang sering mendapatkan stigma kebanyakan teori, abstrak, dan tidak mutlak tentu saja dapat ditepis dengan beberapa argumentasi logis yang sudah dijabarkan sebelumnya. Akan tetapi, selain melalui argumentasi logis, menepis stigma terhadap ilmu Soshum juga dapat dijelaskan melalui serial What If. Sebagaimana yang diketahui, What If adalah sebuah serial animasi yang dibuat oleh A.C. Bradley untuk layanan video sesuai permintaan Disney+. Serial tersebut juga dibuat berdasarkan seri Marvel Comics dengan nama yang sama. Serial What If pun pada dasarnya menampilkan realitas alternatif yang terjadi akibat setiap kemungkinan dan pilihan yang ada pada alam semesta Marvel (MCU).
Dari setiap kemungkinan dan pilihan yang ada, pilihan tersebut tentu saja dapat bercabang dan menciptakan realitas alternatif yang beragam. Realitas alternatif itu pada akhirnya menghadirkan suatu varian lain baik makhluk hidup maupun objek-objek yang ada dalam realitas alternatif tersebut. Ragam dari realitas yang ada itu pada akhirnya menciptakan dunia alternatif lain di luar dari dunia yang selama ini diketahui (semesta MCU). Hal itu terlihat pada kehadiran beberapa karakter seperti Peggy Carter yang menjadi Captain America, T’challa yang menjadi seorang Star Lord, Doctor Strange yang mendapatkan kekuatan versi supreme, dan masih banyak lagi.
Dalam hal ini, adanya alam semesta yang lebih kompleks dengan konsep multisemesta multisemesta dibandingkan alam semesta MCU tentu saja bukan sebatas hasil pemikiran semu yang irasional. Meskipun konsep multisemesta serial What If terkesan khayalan, semu, dan abstrak dalam kehidupan sehari-hari, adanya konsep multisemesta dalam serial What If pada dasarnya merupakan hasil pemikiran logis cabang ilmu Saintek, yaitu fisika.
Konsep multisemesta pula pada dasarnya merupakan hasil dari teori superstring yang merupakan perpaduan dari teori string dan supersimetri matematika. Perpaduan dari kedua teori terkenal dalam fisika tersebut juga sesungguhnya berusaha untuk menjelaskan dan menghubungkan setiap aspek fisik dari alam semesta. Meskipun sampai saat ini masih belum memiliki bukti empiris dan kerangka teori yang sempurna, melalui adanya konsep multisemesta dari teori superstring ini setidaknya merupakan penjelasan logis mengenai setiap aspek fisik dari alam semesta (the theory of everything).
Konsep multisemesta yang dapat dijumpai dalam serial What If pula sebenarnya merupakan representasi dari kompleksitas dan kesulitan dalam ilmu Saintek itu sendiri. Hal ini dikarenakan konsep multisemesta yang baru terpacu pada penjelasan logis masih minim dalam hal pembuktian empiris. Tidak heran, para pakar ilmu Saintek sampai saat ini pun masih terus berusaha mengungkap theory of everything yang dapat menjelaskan setiap aspek fisik dari alam semesta. Selain itu, kompleksitas dan kesulitan yang dimiliki ilmu Saintek terhadap konsep multisemesta dan theory of everything, merupakan bukti jika kesan kebanyakan teori, abstrak, dan tidak mutlak tidak hanya dimiliki oleh ilmu Soshum.
Penulis: Haikal Avril F
Haikal Avril F alias Doctor Strange. Maba sosiologi yang mengagumi Doctor Stephen Strange dan berkeinginan untuk menjelajahi multisemesta agar bisa melihat varian dari dirinya yang (mungkin) lebih baik. Semoga di alam semesta yang berbeda, kita masih bisa berteman. 🙂 Dapat dihubungi di @_pocahonta5 (Instagram)