Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap manusia harus menciptakan makna di dalam hidupnya, walaupun alam semesta ini tidak jelas, tidak adil, kacau, dan tampak hampa. Gerakan ini percaya bahwa manusia sebagai pribadi aktif yang dalam kebebasannya mampu memutuskan apa yang terbaik bagi kehidupannya dan dengan keputusannya tanpa intervensi dari siapa pun, manusia dapat melawan arus fakta alam dan berevaluasi.
Dalam serial anime Naruto, terdapat seorang shinobi yang secara lahir tidak memiliki teman karena dianggap sebagai monster dan merasakan kesepian dalam hidupnya. Gaara adalah anak dari Kazekage keempat sekaligus Jinchuriki Shukaku, yakni monster ekor satu yang diyakini oleh masyarakat desa Sunagakure telah menyebabkan kerusakan di desa tersebut. Sehingga ketika Gaara dijadikan Jinchuriki oleh ayahnya, tidak ada satu pun yang mau berteman dengannya.
Dari rasa kesepian tidak memiliki teman Gaara mulai menarik hipotesis bahwa dirinya hanya alat bagi desanya dan membenci dirinya yang lahir sebagai monster. Namun, setelah bertemu dengan tokoh utama, yaitu Naruto Uzumaki selaku monster Desa Konohagakure, Gaara mulai mencintai dirinya bahkan dia hanya perlu mencintai dirinya dan berjuang untung dirinya agar menjadi kuat untuk melawan kesepian. Karena bagi Gaara manusia tidak akan pernah menang dari rasa kesepian, sehingga ia ingin menjadi pemenang dan dapat mengalahkan rasa kesepian dalam dirinya.
Gaara yang sadar bahwa untuk menghindari jalan kesepian, maka dirinya harus bekerja keras dan memilih jalan baru dengan usaha dirinya sendiri. Dari kesadaran diri tersebutlah Gaara menemukan eksistensialisme dalam dirinya, bahkan Gaara percaya bahwa hanya seorang pemenang yang benar-benar merasakan nilai eksistensinya.
Gaara memaknai jalan eksistensialisme dengan cara bahwa dirinya harus menjadi kuat agar menjadi seorang pemenang dalam melawan kesepian, cacian orang lain, dan memenangkan pertarungan melawan kebencian.
Sehingga, ketika Gaara percaya bahwa Filsafat Eksistensialisme dapat mengubah hidupnya, maka hidupnya yang ditimpa kesendirian dan kesepian diubahnya dengan cara eksistensialis menjadi pemenang. Gaara telah menaklukkan fakta alam dalam Dunia Shinobi, bahwa seorang Jinchuriki tidak akan memiliki teman karena monster tidak akan bisa berteman dengan manusia, yang mana hal itu dirasakan oleh para pemilik Jinchuriki bahkan dira- sakan pula oleh sang tokoh utama, yaitu Naruto Uzu- maki si ekor Sembilan.
Dalam eksistensialisme Gaara, dia kembali ke masa di mana ia menjadi baik dan ramah kepada orang lain walaupun orang lain tetap merasa takut jika didekati Gaara. Gaara merasa bahwa dirinya dan kekuatan yang super duper kuat harus tetap eksis dalam masyarakat Desa Sunagakure untuk melindungi masyarakat pribumi yang ada di sana. Nasib seseorang ditentukan oleh keberadaan mereka dalam lingkungan masyarakat, sebagai Contoh Orochimaru yang eksis dalam penelitiannya, dia memiliki nasib menjadi seorang ilmuwan dan peneliti yang ulung.
Adapun Shikamaru yang selalu eksis dalam menggunakan daya nalar intelektualnya, dia memiliki nasib menjadi orang yang selalu terlibat dalam juru taktik Desa Konoha. Maka, Gaara yang selalu eksis dalam melindungi desa kebanggaannya dengan menggunakan kekuatannya, nasib dia sangat baik, yakni menjadi pemimpin yang berwibawa dalam melindungi desanya.
Bahkan dia selalu siap untuk mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan desa tercinta. Gaara selalu ada melindungi desanya ketika desanya terancam. Pada saat Deidara dan Sasori datang ke desanya, Gaara menjadi orang pertama yang ada dan siap mati untuk menghadapi orang-orang berbahaya, pun demikian ketika Urashiki datang ke desanya, dia bertarung habis-habisan untuk desanya.
Lalu eksistensialisme Gaara perlu dicontoh oleh para pembaca, walaupun kita dibenci, dihujat, dijauhi, tidak ditemani, atau tidak dicintai, kita harus tetap merasa bahwa kita tetap ada untuk mereka walaupun mereka menganggap tidak adanya kita.
Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas dan ketika kita bebas melakukan sesuatu, disisi lain orang-orang akan bebas pula mengkritik kita dan menghina kita.
Namun, ketika kita selalu menganggap bahwa diri kita eksis maka kita akan menemukan esensi dari sikap eksistensialisme kita. Esensi tersebut akan ditemukan ketika kita meyakini bahwa kita adalah subjektifitas dalam alam semesta ini. Dengan begitu, kita sendiri yang akan menentukan nasib kita dan makna dalam hidup kita.
Penulis: Hery Prasetyo Laoli
Hery Prasetyo Laoli merupakan Mahasiswa Filsafat Islam yang minat kajiannya adalah tokoh-tokoh tertindas baik tokoh di dunia nyata maupun tokoh di dunia anime. Pernah berpikir ingin hidup abadi namun tidak jadi. Dapat dihubungi lewat Instagram di @herynisme