Kehampaan Eksistensial Hati Uchiha Sasuke

Kehampaan Eksistensial Hati Uchiha Sasuke

Jika sebelumnya kita membahas pak Kades, tak lengkap rasanya jika kita tak membicarakan sohib akutnya, yaitu bang Toyib Uchiha Sasuke. Dalam tulisan sebelumnya, keadaan Naruto yang seakan super tabah adalah efek positif dari rasa frustasi saat pencarian makna hidup. Efek positif tersebut disebabkan banyak faktor, tapi yang paling menonjol adalah adanya figur yang menjadi support bagi orang yang mengalami rasa frustasi tersebut. Dalam kondisi Naruto, figur yang dimaksud adalah Iruka. Bisa dibayangkan, andai saja Iruka tidak mengakui Naruto yang dilanda rasa shock karena omongan Mizuki, apa yang akan terjadi? Depresi akut? Balas dendam?

Pencarian makna yang berefek positif akan menjadikan seseorang teguh dan hidupnya terisi nilai hikmah. Namun, saat si pencari makna bahkan tidak bisa menyingkap makna dalam dirinya, maka sebuah kehampaan telah menunggunya. Frankl menyebutnya kehampaan eksistensial. Inilah yang terjadi pada Bang Toyib kita di masa remajanya.

Pada suatu malam, Sasuke kecil pulang dari Akademi. Dengan wajah riang tak sabar untuk segera bertemu kakaknya agar ia bisa menunjukkan pencapaiannya di Akademi. Jadilah Sasuke bergegas agar ia tidak terlambat untuk makan malam. Namun, realita yang dia dapati tak semanis ekspektasinya. Semuanya berubah. Saat memasuki gapura Uchiha, bocah ini merasakan hawa dingin. Sepi, tiada orang. Malah dia menemukan mayat-mayat tergeletak. Bergegaslah Sasuke menuju rumah. Di depan matanya dia menyaksikan mayat orang tuanya tergeletak sekaligus kakaknya, Itachi yang memegang pedang.

Semua ingatan kebaikan Itachi yang terbayang di benak Sasuke seketika buyar. Tak ada lagi makan malam yang menyenangkan. Lekas sudah Itachi menghapus semua jejak kenangan indah itu.

Baca Juga  Stigma Buruk Warga Konoha terhadap Jinchuriki: Beratnya Masa Kecil Uzumaki Naruto

Semenjak itu, benak Sasuke kecil melampiaskan hidupnya demi balas dendam kepada kakaknya. Meski secara lahir berbeda, jika kita bandingkan Sasuke dengan Naruto sama-sama mengalami penderitaan. Mungkin kita bertanya, jika sama-sama menderita kenapa outcome atau hasil dari kejadian tersebut berbeda 180 derajat? Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, ada kesalahpahaman umum yang mesti diluruskan. Dalam pencarian makna melalui penderitaan, Frankl menjelaskan kita bisa menemukan makna hidup kita asalkan penderitaan itu tidak bisa dihindari dan di luar kendali kita. Jika penderitaan itu bisa dihindari, maka solusinya jelas menghilangkan penderitaan tersebut sesuai konteksnya. Menderita secara tidak perlu bukanlah simbol kepahlawanan melainkan hanya menyakiti diri sendiri.

Sekarang, kita kembali kepada pertanyaan tadi. Berdasarkan pemaparan tersebut, sudah jelas bahwa dari sudut pandang Sasuke derita pembantaian klannya adalah sesuatu yang tak bisa dihindari dan di luar kendalinya.

Jika berbicara penyelesaian secara umumnya, maka pada umumnya orang seperti Sasuke akan mendapat doktrinasi untuk melakukan hal tertentu. Namun, logoterapi tidak memandang seperti itu. Psikologi umumnya ibarat ahli lukis yang berupaya memaparkan gambaran dunia dari kacamatanya. Sedangkan, Frankl mengklaim bahwa Logoterapi ibarat dokter ahli mata yang berusaha membuat kita melihat dunia apa adanya. Seorang figur logoterapis akan memperluas sudut pandang pasiennya sehingga dia bisa menangkap dan menilai setiap detail maknanya sendiri.

Baca Juga  Filsafat Eksistensialisme Gaara Dalam Menentukan Jalan Nasibnya Sendiri

Figur inilah yang hilang dari kepingan hidup Sasuke (pada awalnya). Sehingga bukannya berdamai dengan kenyataan dan mengambil nilai tersirat darinya, Sasuke membiarkan dirinya dikuasai hasrat membalas dendam. Ketika balas dendam dilakukan, orang tersebut tetap saja tidak bisa mengubah realita yang dia alami.

Dikala kita tersakiti, kita mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama ialah membalas dendam, tetapi tidak tentu mengembalikan ketenangan kita. Pilihan ini biasanya dimiliki oleh seseorang yang memandang suatu kejadian dengan pandangan terbatas dan terkendali egonya sendiri. Pilihan kedua, yaitu memaafkan. Seseorang dengan pilihan kedua ini memiliki pandangan yang luas, bebas, dan objektif. Dalam logoterapi, pandangan inilah yang diharapkan, karena kebebasan menentukan sikap adalah sesuatu yang tidak bisa direbut dari jiwa. Begitupula, dalam menentukan pilihan reaksi hidup,

Ketiadaan dokter ahli mata ‘kehidupan’ menyebabkan Sasuke mengambil keputusan tanpa memandang efek dari keputusan tersebut. Dalam anime saja, seseorang yang kehilangan kacamata kehidupan yang jernih bisa menjadi buronan Konoha, kriminal regional hingga internasional. Dengan Dengan memahami memahami tersebut bisa memberikan kita gambaran efek seseorang yang merasakan kehampaan dalam hidupnya.

Sebagian kita mungkin bertanya-tanya, bukannya sudah jelas makna hidup Sasuke, meskipun berkonotasi negatif, ialah balas dendam kepada kakaknya sendiri? Maka menurut Logoterapi, kesimpulan tersebut kurang tepat. Apa yang terjadi pada adik Itachi ini bukanlah makna hidupnya, melainkan bentuk terselubung dari kehampaan hatinya. Perlu diingat bahwa kita adalah makhluk sosial, dan dalam konteks ini maka makna hidup seseorang itu berbentuk tugasnya untuk masyarakat. Kehampaan hati seseorang bisa terwujud dalam berbagai selubung. Dalam logoterapi, bentuk terselubung dari rasa hampa ini salah satunya menjadi keinginan untuk berkuasa (berkonotasi primitif).

Baca Juga  kritik Atas Penilaian Perempuan Dalam Kultur Konservatif Jepang Dalam Anime When Marnie Was There

Seperti halnya Sasuke, yang melampiaskan kehampaannya dalam bentuk balas dendam kepada Konoha dan menjadi seorang rasialis (saat memandang Uchiha di atas segalanya). Meski nantinya, Sasuke menyadari kekhilafannya, menemukan makna hidupnya, dan mengikuti jejak Itachi. Melindungi Konoha dari balik layar. Seorang altruisme sejati.

Dari perjalanan hidup Sasuke, kita belajar bahwa kehampaan hati itu bukan hal yang sepele. Kehampaan tersebut hanya melahirkan hal negatif lainnya. Saat kesialan menimpa kita, hal tersebut bukan pertanda hidup kita nir-makna. Naruto dan Sasuke keduanya mungkin tertimpa kesialan dalam hidupnya, tetapi yang membedakan adalah keberadaan figur yang bisa membuat mereka berpikir jernih untuk bersikap Terkadang kita merasa hidup kita memiliki tujuan, tetapi tanpa sadar malah jatuh ke titik terendah kehidupannya dikarenakan sempitnya sudut pandang. Barangkali setiap dari kita memiliki makna, namun terkadang lupa untuk membersihkan lensa pandangan kita. Carilah figure yang bisa membersihkan lens aitu agar kita bisa menyadari indahnya sentuhan Yang Maha Kuasa dalam setiap klip kehidupan.

Penulis: Gariza Ahmad Robbani

Gariza Ahmad Robbani Adalah mahasiswa Konoha Universitas Beika. di Pendengar setia ceramah mingguan Kades KH Uzumaki Naruto, SH.MH. Penggemar Prof. Dr. Kudo Shinichi, Ph. D. meski kadang gak mudeng sama analisisnya. Bisa disapa lewat akun Instagram @officialahmadgar.