Idealisme Keabadian Raiden EI

Idealisme Keabadian Raiden EI

Apa itu idealisme? Plato mengatakan bahwa segala sesuatu tidak terletak pada hal yang bersifat materi, melainkan sesuatu yang ada di balik materi itu. Apakah sesuatu itu? lalah ide. Ide bersifat kekal, immaterial, dan tidak berubah. Dari pemahaman Plato ini, dapat ditarik sebuah pengertian bahwasanya idealisme adalah aliran filsafat yang memiliki pandangan bahwa hakikat dari segala sesuatu ada dalam sebuah ide. idealisme menanggalkan pemikiran terhadap hal-hal yang bersifat fisik (realitas, material), dan berfokus kepada hal-hal yang ada dalam spektrum ide dan pikiran.

Lalu, apa itu keabadian? Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keabadian berarti kekekalan, tempat yang abadi. Abadi sendiri berarti tidak berkesudahan. Sekarang, mari gabungkan kata “idealisme” dan “keabadian” menjadi kesatuan. Idealisme keabadian. Terlihat berat dan penuh angan-angan, tetapi memang inilah benar adanya. Inilah idealisme yang dipegang teguh oleh seorang entitas penguasa daratan Inazuma: Raiden Ei. Teyvat, sebuah kontinen dalam dunia fiksi game Genshin Impact, terbagi menjadi tujuh wilayah. Ketujuh wilayah tersebut dipimpin oleh tujuh dewa, dan tujuh dewa memegang tujuh idealisme yang digunakan untuk memimpin wilayah mereka.

Dari ketujuh dewa, terlihat ada satu anomali yang unik. Anomali itu ialah Raiden Ei. Raiden Ei adalah pemimpin Inazuma, daratan dengan gelegar petir tiada henti. Keanomalian Raiden Ei ini membuatnya menjadi karakter yang kompleks dan penuh kontradiksi.

Baca Juga  Stigma Buruk Warga Konoha terhadap Jinchuriki: Beratnya Masa Kecil Uzumaki Naruto

Bagaimana seorang dewa dapat menjanjikan keabadian pada rakyatnya? Keabadian itu adalah hal yang terlampau semu, dan hal yang terlampau idealis. Jika dipikir-pikir lagi, agak aneh melihat dewa yang mewakili elemen petir menjanjikan keabadian. Padahal, petir sendiri bersifat sementara-ia tak pernah abadi, ia datang dan pergi. Keabadian yang ia kejar inilah yang menjadi masalah utama dari konflik dan perang saudara yang terjadi Inazuma. Raiden Ei menanggalkan seluruh materi dan hal fisik yang ada di dunia, dan memilih untuk bersemedi di dalam dunia yang ia buat sendiri, Plane of Euthymia. Semedi ini telah ia lakukan selama 500 tahun. Selama 500 tahun itu ia tak tahu menahu soal keadaan luar, kecuali yang berkaitan dengan keabadian.

Sementara ia bersemedi, ia membuat sebuah duplikat dirinya, yaitu Raiden Shogun, yang kemudian ia perintahkan untuk memimpin Inazuma sementara ia bersemedi mengejar keabadian. Karena ketidakpeduliannya ini, terjadilah dekrit perburuan vision yang disetiri oleh bawahannya sendiri, yaitu Tenryou Commission yang bekerja sama dengan kelompok Fatui.

Dekrit ini mencabut aspirasi dan tekad orang-orang yang terpilih, dan pemberontakan pun terjadi. Orang-orang yang dicabut visionnya mencari perlindungan pada pasukan revolusioner, sebuah organisasi yang lahir di Pulau Watatsumi, tempat tinggal manusia yang menyembah Orobashi, dewa berwujud ular yang dulu dibunuh oleh Raiden Shogun sewaktu perang besar para dewa. Mungkin juga karena sentimen sedari dulu yang dimiliki oleh orang-orang Watatsumi kepada sang pemimpin Inazuma menjadikan dekrit perburuan vision ini sebagai momentum yang besar untuk bertindak sebagai pahlawan dan merebut hati mereka yang menderita. Terjadilah perang saudara.

Baca Juga  Mengkritik Kebebasan Eren Yaeger dari Sudut Kebebasan Monkey D. Luffy

Semua ini terjadi karena egoisme sang dewa.

Namun, pada akhir cerita, tabir pun terungkap. Egoisme dan idealisme keabadian yang dimiliki Raiden Ei, semua itu ada karena satu penyebab: rasa takut akan kehilangan. Raiden Ei hidup dengan kesedihan yang tiada akhir. la kehilangan sahabatnya, ia kehilangan saudara perempuannya. Semua kehilangan itu membuatnya tenggelam akan kesedihan yang mendalam. Kesedihan itu kemudian berubah menjadi ambisi, yang kemudian ambisi itulah yang menjadi alasan baginya untuk mengejar keabadian. Baginya keabadian dapat menjaga dirinya, dan Inazuma dari kehancuran. Di sini nampaknya terlihat suatu ironi, di saat Raiden Ei mengejar keabadian supaya Inazuma tetap aman, di saat yang bersamaan ia malah semakin tenggelam dalam kesedihan dan buta akan kenyataan. la hidup dalam luka batin yang “abadi”.

Duka di dalam hatinya tidak pernah surut. Tetapi hal yang ia kira baik, nyatanya malah melukai rakyatnya sendiri.

Idealisme keabadian Raiden Ei ini dapat dijadikan sebuah pelajaran. Pelajaran bahwa waktu itu terus berjalan, tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Begitu pula kehidupan. Kehidupan berjalan mengikuti waktu. Ada rasa duka, rasa sakit, atau kesedihan yang ada di hati tiap-tiap orang, tetapi semua memiliki waktunya sendiri. Suatu saat nanti, rasa sakit itu akan tergantikan dengan rasa lapang. Semoga rasa lapang itu kelak dapat menjadi dasar untuk kembali menemukan kebahagiaan dan ketenangan diri dan hati.

Baca Juga  Menilik Kelas Sosial Pada Klan Hyuga Dalam Kacamata Relasi Kuasa Michel Foucault

Penulis: Ramos M.Y.S

*Ramos M. Y. S merupakan seorang penikmat anime, film, dan game yang kebetulan juga suka menulis.