Wibu dan Kultur Akademik Sebuah Gairah yang Mungkin Akan Menyehatkan Iklim Perwibuan Kita

Wibu dan Kultur Akademik: Sebuah Gairah yang Mungkin Akan Menyehatkan Iklim Perwibuan Kita

Ketika Mark W. Macwilliams dalam bukunya Japanese Visual Culture: Explorations in the World of Manga and Anime (2008) menuliskan tentang potensi anime atau manga sebagai sarana untuk berdiskursus, serta bukan sekadar tempat untuk eskapisme semata. la mungkin tidak hanya mengingatkan kita untuk peka terhadap potensi tersebut, melainkan juga mendorong kita agar aktif membangun sarana itu dalam fandom perwibuan. Perwibuan dan ruang diskursus bukan hal yang baru dalam napak tilas fandom Jejepangan. Sudah sejak lama diskursus tentang anime maupun manga hilir mudik memenuhi ekosistem budaya populer Jepang bahkan sejak kebangkitannya pada dekade 90-an.

Tidak hanya produk media seperti anime dan manga saja yang menjadi bahan diskursus, melainkan industrinya secara keseluruhan juga menjadi instrumen menarik sebagai gagasan yang membangun ruang diskusi publik.

Tapi permasalahannya, kultur akademik dalam perwibuan seperti itu masih dianggap eksklusif sebagai bagian dan tugas dari kaum intelektual seperti akademisi. Kultur diskusi anime dan manga yang membangun gagasan, argumen, hingga pikiran, bagi banyak penikmat budaya populer Jepang, kultur tersebut bukanlah sarana yang lazim untuk kita karena produk anime maupun manga kerap dianggap sebatas sarana hiburan semata. Pemikiran itu memang tidak sepenuhnya keliru, Lisa Marie Coper (2016) dalam artikelnya menuliskan bahwa memang terdapat dua kategori kelompok yang menikmati produk media anime maupun manga dengan gayanya masing-masing; kelompok pertama ialah mereka yang menganggap anime sebagai sebuah medium hiburan untuk untuk sarana rekreasi. rekreasi. Sedang kelompok kedua ialah orang-orang yang lebih mengapresiasi anime maupun manga sehingga memungkinkan mereka untuk mengaitkan produk media itu dengan realitas yang ada.

Baca Juga  Stigma Buruk Warga Konoha terhadap Jinchuriki: Beratnya Masa Kecil Uzumaki Naruto

Kedua kelompok tersebut tidak ada yang salah, dan kita, tidak perlu mendiskreditkan salah satunya; keduanya memiliki perannya masing-masing dalam berpartisipasi membangun ekosistem perwibuan. Hanya saja, metode pendekatan mereka secara garis besar memiliki perbedaan dan tentu terdapat implikasinya tersendiri. Untuk membangun kultur akademik dalam fandom Jejepangan, memang masyarakat barat lebih dominan ketika berbicara tentang perwibuan melalui lanskap yang lebih komprehensif. Sebenarnya tidak bisa dipungkiri kultur tersebut masih didominasi oleh para orientalis, karena sedari dulu memang lebih banyak akademisi barat yang berbondong-bondong menjadikan budaya populer Jepang sebagai fenomena baru untuk sumber penelitian mereka.

Bahkan kebangkitan penetrasi budaya populer Jepang di dunia tidak akan dimulai oleh pemerintah Jepang apabila Douglas McGray, seorang peneliti asal Amerika Serikat tidak menerbitkan tulisannya tentang Japan’s Gross National Cool (2002) di Foreign Policy.

Tapi yang perlu disadari, meskipun kultur akademik dalam perwibuan masih terkesan eksklusif digawangi oleh para akademisi, bukan berarti kultur tersebut tidak berpenetrasi sama sekali kepada penikmat Jejepangan secara umum. Malahan, berkat dimulainya kultur akademik ini oleh para kaum intelektual, sudah mulai banyak ruang diskursus akar rumput terkait anime dan manga yang terbentuk karena pengaruh dari ragam penelitian oleh sebagian kelompok wibu yang sadar terhadap potensi tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pasar besar budaya populer Jepang? Apakah kita sudah membangun sarana diskursus itu ataukah masih terkekang pada ruang eskapisme semata?

Baca Juga  Memaknai Kehidupan Selayaknya Kaori Miyazono

Namun, sebelum menjawab satu pertanyaan penting di atas, yang perlu digarisbawahi di sini adalah membangun kultur akademik dalam ekosistem perwibuan bukan berarti membuat iklim perwibuan kita menjadi sebuah ajang adu kepintaran atau tempat yang berisi omong kosong dengan menganggap diri kita lebih hebat dari orang lain. Membangun kultur akademik di dunia perwibuan adalah tentang memberikan tempat yang aman bagi siapa pun untuk menikmati budaya populer Jepang dengan gagasan dan ide tanpa adanya diskriminasi. Kultur akademik dalam dunia perwibuan memungkinkan kita untuk membahas isu-isu yang sentimental dan terpinggirkan, tetapi sebenarnya perlu untuk didiskusikan: seperti isu-itu tentang perempuan, eksploitasi, kelompok marjinal, kesetaraan, hak asasi dan isu-isu lain yang diakomodir oleh industri budaya populer Jepang. Sehingga dari ide-ide dan gairah itu, ekosistem perwibuan setidaknya mampu membuat kontribusi substantif yang bisa kita berikan kepada diri kita sendiri maupun kepada lingkungan secara utuh.

Membangun kultur akademik di dunia perwibuan juga bisa kita sebut sebagai bentuk menyehatkan iklim perwibuan kita yang masih jauh dari kata ideal: yang masih dipenuhi oleh perdebatan tidak penting, grasak- grusuk satu sama lain sekaligus sebagai alat untuk melawan stigma dan justifikasi yang ada. Wibu Indonesia memang telah memulai kultur akademik ini secara perlahan. Munculnya media alternatif yang membahas khusus fandom Jejepangan dengan ciri khasnya seperti Kaori Nusantara, Risa Media hingga Podcast OtakuBox, membawa angin segar ruang diskusi perwibuan kita dengan kehadiran konten-konten yang membuka ruang publik tersebut.

Baca Juga  Menepis Tuduhan Korupsi Harta Warisan Minato yang Dilakukan Oleh Hiruzen Sarutobi

Belum lagi, acara besar seperti Comic Frontier juga kerap mengadakan diskusi akademik terkait isu-isu budaya populer Jepang di satu mata acara setiap kali event akbar mereka diadakan: seperti halnya di tahun 2020 dalam diskusi tersebut mereka membawakan tema terkait peran perempuan dalam anime yang ternyata begitu besar, meski industri ini masih didominasi oleh narasi patriarkisme.

Tidak lupa juga inisiatif dari teman-teman komunitas, kaum pelajar, hingga wibu perseorangan yang melakukan kegiatan-kegiatan serupa melalui kreativitasnya masing-masing untuk memberdayakan kultur akademik dalam ekosistem perwibuan. Sehingga dari pengalaman di atas memberikan optimisme kepada kita semua tentang bagaimana kultur akademik dalam perwibuan Indonesia bukan lagi sebuah sarana eksklusif yang dimiliki para intelektual saja, melainkan juga tempat yang inklusif bagi siapa pun yang ingin berkontribusi membangun peradaban wibu yang berkualitas ke depannya.

Tentu perihal membangun kultur akademik di dunia perwibuan bukanlah hal yang utopis, melainkan ini adalah sebuah potensi yang bisa diwujudkan seperti yang dikatakan oleh Mark W. Macwilliams. Semua itu dapat dilakukan dan diberdayakan, hanya tinggal seperti apa tindakan kita-wibu Indonesia-ke depan dalam menyongsong potensi tersebut.

Maka dari itu, agar kita bisa membangkitkan kultur akademik sebagai kultur yang terbuka bagi semua sebagai sebuah gerakan pembaharuan perwibuan kita bersama-sama, my fellow wibutachi di mana pun kalian berada: bergeraklah, jangan diam, karena kita perlu mewujudkannya dimulai dari sekarang.

Penulis: Pikri Alamsyah

Director PN Media. Dapat dihubungi di Instagram @fialamsyah