Kematian Kurama dan Bagaimana Kita Memaknai Duka

Kematian Kurama dan Bagaimana Kita Memaknai Duka

Kita memang sudah merasakan banyak duka dalam serial Naruto: dari kematian Zabuza dan Haku, Itachi dan Jiraiya, Neji maupun Asuma, hingga Minato dan Kushina, dan saat ini yang baru saja pergi meninggalkan kita, ialah Kurama. Dan bila kita merasa berduka tentu saja itu bukan sesuatu yang aneh, karena rasa duka itu tidak memiliki parit yang membatasi antara realitas dan fiksi, rasa duka bisa menyergap kita, menghantui kita, dan menampar kita hingga kita semua tidak berdaya, tak peduli apakah itu dunia nyata atau dunia khayalan semata, rasa duka itu akan tetap datang dan tetap bisa memberikan kita kegetiran yang tidak bisa kita jelaskan melalui kata-kata.

Tapi memang… kita tidak bisa mendefinisikan rasa duka, karena rasa duka bukan suatu yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Melainkan rasa duka hanya bisa dirasakan di dalam diri, dan setelah dirasakan, barulah bagian dalam diri kita akhirnya memproses rasa duka itu lewat ekspresi-ekspresi yang muncul dari bagian tubuh luar kita: seperti halnya merasakan sensasi ketakutan, dada yang berdebar, hujan air mata, perut bergejolak, gelisah tak ada habis, maupun kaki yang seperti tidak berpijak pada bumi. Rasa duka memang tidak termaktub pada suatu definisi, maka dari itu rasa duka diberikan kebebasan untuk memberikan duka kepada kita dari sisi manapun: rasa duka tak terbatas kita terima dari realitas dunia yang kita jalani, tetapi lebih dari itu, kita juga bisa merasakan duka dalam dunia fiksi.

Baca Juga  Johan Liebert Adalah Seorang Sufi Yang Salah Jalan

Kegagalan, kekalahan, pengkhianatan, hingga kematian yang terjadi dalam cerita di dunia fiksi, semua itu juga bisa bertransformasi menjadi rasa duka ketika kita semua mempunyai ikatan yang kuat terhadap suatu karya.

Maka wajar, bila akhir-akhir ini, kita semua merasakan duka maupun kehilangan karena kepergian Kurama di episode terbaru Boruto. Tidak hanya Naruto yang kehilangan sosok yang dekat dengannya, tapi kita juga kehilangan sosoknya. Karena mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa kita tumbuh bersama mereka berdua, rasa ikatan yang mereka ciptakan tidak hanya memengaruhi jalan cerita serial yang kita kagumi bersama, melainkan juga memengaruhi diri kita pula. Sehingga Kurama bukan hanya menjadi bagian dari Naruto, maupun semestanya, tetapi menjadi bagian dari dunia kita juga.

Karena mau bagaimana pun, kita tumbuh dan berkembang bersama dengan Kurama. Dari Kurama hanya sebagai jelmaan kebencian menjadi sebuah ketulusan, dari penjelmaan amarah hingga menjadi sebuah kebaikan. Kurama dan Naruto bertransformasi, dan kita menjadi sebuah saksi dari perubahan itu.

Di masa kita kecil, Kurama datang sebagai musuh bersama, ia menghancurkan harapan dengan membawa segenap kebencian, namun, di masa kita beranjak dewasa, Kurama meninggalkan jejak menjadi pahlawan yang membawa segala harapan, bagi dunia ninja, maupun bagi kita semua. Sehingga kematian Kurama, akhirnya membuat batas antara kenyataan dan fantasi tidak dipedulikan oleh rasa duka, karena dari sisi mana pun, mau itu realitas atau khalayan, nyata atau tidak nyata, konkret atau pun abstrak, rasa duka itu bisa datang lewat jalur apa pun untuk memberikan kita rasa hampa, sedih, depresi, nestapa, pahit maupun pilu.

Baca Juga  Bukti konkrit Kesalehan Sosial Uciha Itachi

Kematian Kurama, adalah salah satu dari banyak contoh dari kematian karakter fiksi yang memberikan kita rasa duka mendalam. Sehingga memang kita boleh dan berhak saja menangisi kematian Kurama maupun karakter fiksi lainnya, tidak ada yang salah untuk mengeluarkan rasa emosional kita.

Karena bisa jadi kehilangan sosok karakter yang kita kagumi dan hormati sama halnya ketika kita kehilangan seseorang yang kita cinta di dunia. Mau bagaimana pun, sosok karakter fiksi bisa jadi juga mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan kita, terutama bila kita memang memiliki keintiman atau pun kedekatan terhadap sebuah karya maupun terhadap suatu karakter fiksi. Kita bisa berduka kepada apa pun dan siapa pun, karena rasa duka adalah salah satu teman terdekat kita semua dalam berkehidupan, dan ia memang bisa menghampiri kita kapan saja, entah melalui kematian orang-orang sekitar kita, atau pun kepergian dari karakter fiksi yang kita suka, maupun ketika diri kita sendiri yang menjadi sumber dari rasa duka itu.

Penulis: Pikri Alamsyah